TERAS, Manado- Setelah sebelumnya menemui Badan Kehormatan (BK), sebanyak 20 organisasi peduli perempuan, yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Sulut (GPS) kembali mendatangi kantor DPRD, di kawasan Kairagi, Manado, Selasa (2/2/2021).
Dengan membawa spanduk bertuliskan “Tuntut James Arthur Kojongian (JAK) Dipecat Dari Pimpinan dan Anggota DPRD Sulut”, GPS yang diwakili oleh juru bicara, Pdt Ruth Kesia, Jull Takaliuang, Nur Hasanah dan Joice Worotikan menjumpai Ketua DPRD, Fransiskus Andi Silangen.
Menurut mereka, pada pertemuan dengan Ketua DPRD, GPS menyampaikan dasar perjuangan GPS yang merujuk pada perjuangan Hak Asasi Perempuan (HAP) sebagaimana yang termuat dalam prinsi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia ke dalam UU No. 7 Tahun 1984 tentang konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Aganinst Women) dan juga tentang capaian Pembangunan Berkelanjutan SDGs.
“Kami juga menekankan soal Gender Justice. Karena betul negara punya kewajiban dan tanggung jawab bagi pemenuhan HAP dan juga capaian SDGs, tapi sebagai masyarakat sipil kita juga ikut bertanggung jawab melalui partisipasi bagi penghapusan segi bentuk dikriminsi, ketidakadilan dan kekerasan,” ungkap Pdt Ruth.
Menurut dia, hal ini disampaikan GPS kepada Ketua DPRD, sebagai rujukan hukum untuk meng-counter pernyataan JAK yang menyatakan bahwa masalah ini adalah urusan pribadinya.
“Kita tidak bisa berpandangan bahwa ini adalah masalah rumah tangga mereka. UU Nomor 23 Thn 2004 tentang P-KDRT dan juga INPRES No 9 Thn 2000 tetang Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah turunan dari CEDAW dan implementasinya ke dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan Negara. Nah DPRD bagian dalam penyelenggara pemerintahan yang punya tanggung jawab mengimplentasi CEDAW dalam kebijakan dan juga tindakan. Jelas kasus JAK adalah kasus kekerasan terhadap perempuan yang adalah istrinya sendiri,” tegas dia lagi.
“Itu artinya bahwa masalah KDRT sudah jadi masalah hukum (publik) bukan lagi tabuh sekalipun terjadi di ranah private. Nah kasus JAK apalagi terjadi di ranah publik dan ada indikasi pidana rencana pembunuhan isteri dengan cara menyeret dengan mobilnya,” tandasnya.
Sebelumnya, pada pertemuan dengan BK, GPS mengatakan bahwa apa yang dilakukan JAK kepada istrinya adalah sebuah tragedi kekerasan yang sangat menyakiti perasaan perempuan dan menimbulkan keresahan di masyarakat. “Kejadian ini juga telah melahirkan beragam persepsi negatif terkait konstruksi sosial-budaya terhadap posisi perempuan dalam tatanan keluarga dan bermasyarakat,” ungkap mereka.
GPS juga menilai peristiwa ini sungguh sangat memalukan dan mencoreng citra Lembaga DPRD Sulut, karena terjadi di ranah publik dan melibatkan James Arthur Kojongian sebagai salah satu pimpinan DPRD.
“Perbuatan JAK sebagai pejabat di lembaga terhormat, seharusnya menjadi panutan perilaku moral dan beretika. Kejadian ini telah menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Sulut,” tegas mereka. (YSL)