TERAS, Manado- Beberapa hari belakangan ini publik kembali dikejutkan dengan pemberitaan di media soal kasus-kasus kekerasan seksual (KS). Di antaranya adalah pelecehan seksual kepada sejumlah siswi, yang diduga dilakukan oleh oknum guru di salah satu sekolah di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Sungguh memprihatinkan dan tak dapat ditolerir, ulah oknum guru yang mestinya menjadi pendidik dan teladan, malah menjadi pelaku kelerasan seksual kepada murid-muridnya.
Tim GPS (Gerakan Perempuan Sulawesi Utara Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak), bersama dengan Tim Advokasi GAMKI SULUT, dan pendamping korban dari Swara Parangpuan Sulut mengunjungi sekolah yang dimaksud dan mendengarkan langsung suara-suara korban.
Menurut perwakilan GPS, Pdt Ruth Kesia, dari 17 korban yang sudah teridentifikasi dan dimintai keterangan oleh polisi, tidak semua hadir. Beberapa di antaranya termasuk korban, yang fotonya viral saat oknum guru diduga melakukan pelecehan padanya, tidak pernah lagi ke sekolah.
“Tampaknya peristiwa itu masih menyisahkan tekanan psikis dan trauma baginya,” kata Pdt Ruth.
Setiba di sekolah, ia mengungkapkan mereka harus menunggu beberapa siswi, yang masih di Kantor Polisi.
“Ketika kami cek, ternyata mereka ke sana tanpa pendamping (hukum) yang punya perspekstif korban. Padahal, pendampingan ini sangat diperlukan, apalagi mereka masih berstatus anak, seperti disampaikan oleh Tim GPS & Tim Advokasi GAMKI SULUT dalam keberatannya kepada polisi saat menyambangi Kantor PolSek terkait,” ungkapnya.
Pelaku sendiri, kata Pdt Ruth sesuai info, didampingi oleh beberapa pengacara, dan meskipun sudah ditahan dan berstatus tersangka, ia masih tidak mengakui aksi bejatnya itu. Namun kesaksian yang digali dari 17 korban, seperti dikatakan polisi penyidik dapat menjadi bukti pemberatan bagi pelaku.
“Dalam dialog dengan beberapa korban, ulah pelecehan oleh oknum guru ini kepada para siswi sudah berlangsung beberapa tahun. Bahkan ada kakak-kakak kelas yang sudah tamat pun pernah mengalaminya. Jika ini benar maka jumlah korban bisa bertambah lagi,” katanya.
Para korban juga menyampaikan bahwa mereka tidak berani mengungkapkan kasus pelecehan seksual ini karena takut jangan sampai nilai mata pelajaran yang diampu oleh oknum guru yang bersangkutan tidak akan diberikan/dikeluarkan. Apalagi oknum guru ini satu-satunya pengampu pelajaran kimia di sekolah ini. “Katanya, bukan takut membongkar kasus ini, tapi takut tidak mendapatkan nilai untuk mata pelajaran tsb. Padahal nilai untuk mata ajar ini sangat menentukan, apalagi mereka sudah berada di kelas XII, tingkat terakhir jelang ujian nasional tahun depan. Jadi, ini menyangkut nasib dan masa depan mereka,” ungkapnya lagi.
Dalam konteks ini, seperti direspon oleh Tim GPS, jelas terlihat adanya relasi kuasa yang timpang antara guru dan murid, yang membuat kasus kekerasan seksual oleh oknum guru ini berulang terjadi dan sulit terungkap. Guru berada pada posisi superior dan powerful, sedangkan murid berada pada posisi lemah, inferior dan powerless.
“Relasi kuasa yang timpang inilah yang menyebabkan kekerasan seksual dalam berbagai bentuknya berulang kembali, baik itu terjadi di ranah privat, dari rumah sendiri, seperti kasus incest maupun yang terjadi di ranah publik, seperti di sekolah/kampus, tempat kerja, bahkan di tempat ibadah,” tandasnya.
Untuk itu, sebagai cara mengintervensi agar bisa memutus rantai kekerasan seksual atau paling tidak meminimalkannya, yakni melakukan penyadaran melalui edukasi publik termasuk di sekolah-sekolah, sosialisasi UU Perlindungan Anak, juga mendesak negara untuk segera mensahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban.
Di samping itu juga, kekerasan seksual yang bertahun-tahun terjadi di sekolah ini, mestinya menjadi pembelajaran berharga bagi institusi pendidikan untuk menyiapkan dan memberlakukan aturan/kebijakan sekolah, seperti Code of Conduct Anti Kekerasan Seksual dan SOP penanganannya.
“Jika aturan ini ada dan tersosialisasikan dengan baik maka siswi dan atau juga siswa, yang jadi korban akan mudah “speak up” dan berani membongkar kasus kekerasan seksual atau siapa pun, yang berada di lingkungan sekolah/kampus akan mikir ulang termasuk resikonya sehingga bisa saja akan dapat menginsyafkan pelaku,” tambah Pdt Ruth.
Ia mengatakan lagi bahwa pelecehan seksual sama dengan perkosaan dan jenis-jenis kekerasan seksual lain adalah kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM, dan perendahan martabat manusia – yang jelas sekali bertentangan dengan hukum dan yang juga melanggar kehendak-Nya.
“GPS sangat mengapresiasi keberanian para siswi korban yang berani mengambil foto sebagai bukti perilaku bejat oknum guru yang sudah berulang-ulang kali melakukan aksinya itu, serta mendukung keberanian mereka untuk membongkar kasus berantai ini. Siswi-siswi ini adalah duta-duta perlawanan kekerasan seksual di sekolah,” tegasnua.
Gerakan Perempuan Sulut Lawan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak – GPS adalah organisasi yang beranggotakan 23 lembaga dan organisasi kemanusiaan di SULUT dan memiliki jaringan sampai ke tingkat nasional, seperti Komnas Perempuan, akan terus bersama korban dan mengawal proses hukum yang sedang berlangsung, sembari mendorong Aparat Penegak Hukum terkait untuk konsisten memproses kasus ini sampai pada penindakan pelaku sebagai efek jera. (YSL)