///

Penelitian Polnustar–Greenpeace: Laut Sangihe Tercemar Logam Berat, Ancaman Serius bagi Warga dan Ekosistem

Seorang nelayan dari Kampung Bulo, Kepulauan Sangihe, membentangkan tulisan "Laut Kami, Hak Kami" di samping perahu yang sehari-hari ia gunakan untuk mencari ikan. (Greenpeace)

Manado, TERASMANADO.COM – Penelitian terbaru Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar) bersama Greenpeace Indonesia mengungkap kondisi mengkhawatirkan di perairan Sangihe. Hasil riset menunjukkan kadar logam berat di laut dan ikan meningkat signifikan, dipicu oleh ekspansi tambang emas yang kian masif. Situasi ini dinilai mengancam ekosistem laut, kesehatan masyarakat, hingga keberlangsungan ekonomi nelayan.

Kawasan Sangihe dikenal sebagai bagian dari segitiga terumbu karang dunia dan masuk kategori kawasan penting secara ekologis dan biologis (EBSAs). Namun, maraknya aktivitas tambang emas telah mengubah bentang lahan hingga 45 persen lebih luas dalam enam tahun terakhir. Material berbahaya dari lahan tambang terbawa hujan ke laut, mempercepat kerusakan ekosistem pesisir yang ditandai dengan rusaknya mangrove dan pemutihan terumbu karang.

Uji laboratorium di Teluk Binebas mencatat kadar arsen mencapai 0,0228 mg/L dan timbal 0,0126 mg/L, keduanya melewati baku mutu yang ditetapkan. Bahkan, ikan layang yang menjadi sumber pangan utama warga mengandung merkuri, arsen, dan timbal. 

“Temuan ini adalah alarm keras. Sangihe, sebuah pulau kecil dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, sedang menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang sistematis,” ujar Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.

Kerusakan Vegetasi Mangrove di kawasan PETI Kampung Bowone, Teluk Binebas. (Greenpeace)

Dampak pencemaran tidak berhenti di laut. Analisis risiko menunjukkan balita di Sangihe berisiko menerima paparan merkuri harian hingga empat kali lipat lebih tinggi dari batas aman. Kondisi ini diperparah dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan hingga 69 persen, membuat pendapatan mereka anjlok lebih dari seperempat. 

“Peningkatan logam berat tidak hanya merusak laut sebagai sumber kehidupan, tetapi juga menempatkan masa depan anak-anak kita dalam risiko kesehatan jangka panjang,” tegas Prof. Dr. Ir. Frans G. Ijong, M.Sc, peneliti Polnustar.

Atas dasar temuan tersebut, Polnustar dan Greenpeace merekomendasikan penghentian seluruh aktivitas tambang di Sangihe, moratorium izin baru, rehabilitasi ekosistem, pemeriksaan kesehatan warga sekitar tambang, serta penetapan Sangihe sebagai kawasan perlindungan. 

“Pilihan saat ini adalah bertindak tegas untuk menghentikan perusakan atau membiarkan Sangihe kehilangan masa depan demi kepentingan segelintir pihak,” tegas Ijong.(VIC)

Latest from Nusa Utara