TERAS, Manado- Anggota DPRD Sulut Sandra Rondonuwu (Saron) menyorot besarnya alokasi anggaran ke Dinas Pariwisata yang mencapai sekitar Rp 13 miliar. Angka yang besar itu dinilai tidak sebanding dengan kinerja dari dinas dipimpin oleh Henry Kaitjily.
Tak hanya itu, personel Fraksi PDIP ini juga menilai agenda pariwisata di Sulut semrawut.
Hal ini disampaikan Saron saat rapat Banggar DPRD Sulut dan TAPD, belum lama ini.
“Angka ini terlalu besar untuk seorang yang dinilainya pekerjaan tak terlihat,” paparnya.
Ketua Komisi II ini menuturkan, atas lobi Gubernur Olly Dondokambey, Sulut masuk dalam daerah destinasi pariwisata super prioritas (DPSP) yang diwakili oleh Likupang, bersama-sama dengan Borobudur, Danau Toba, Mandalika, Labuan Bajo.
Mengalahkan daerah-daerah lain seperti Raja Ampat, Toraja, dan sebagainya. Artinya ada keberpihakan politik dan ini adalah upaya besar yang berhasil dilakukan.
“Pemerintah menganggarkan Rp 18,9 triliun untuk mengembangkan lima destinasi pariwisata super prioritas. Apa konsep master plan yang sudah disusun Dinas Pariwisata Sulut berkordinasi dengan berbagai dinas terkait untuk merespons anggaran tersebut?” tanya Saron.
Salah satu DPSP seperti Mandalika sukses menggelar MotoGP dan sejumlah event international. Danau Toba baru sedang menggelar event berkelas dunia, seperti Danau Toba Rally 2022, Samosir Jamming Paradise 2022, Toba Fashion Week, Lake Toba Tradisional Music Festival 2.0. Borobudur dan Labuan Bajo tidak usah ditanya. Dari Kementerian Pariwisata untuk event yang dilakukan di dua daerah super prioritas itu sudah dikucurkan puluhan miliar bahkan ratusan miliar.
“Apa yang dilakukan di Likupang? Event internasional apa yang sudah dilakukan di Likupang? Tak terlihat jelas,” sebut Saron mempertanyakan.
Sebelum pandemi Covid-19, Gubernur Olly berhasil membuka direct flight ke Cina dan Jepang, dan sekarang ke Singapore.
“Apa konsep dari Dinas Pariwisata untuk membuat agar wisatawan internasional mau datang ke Sulut, memperpanjang waktu liburan, dan konsep seperti apa yang dilakukan dengan menggandeng pelaku pariwisata sebagai stakeholder parwisita yang kompak dan saling mendukung? Faktanya, malah terjadi banyak faksi-faksi,” ungkapnya.
Saat pandemi, Gubernur Olly memberi solusi agar dilakukan pariwisata kesehatan. Jadi para pengunjung sambil karantina, juga bisa berwisata di pulau-pulau yang indah di sekitar Kota Manado. Harusnya Dinas Pariwisata proaktif melakukan penguatan dan pembenahan.
“Malah ide ini redup dan tidak jalan,” katanya.
Saat kampanye Gubernur Sulut juga sudah berkomitmen mengembangkan health tourisme yang berlanjut dengan kunjugan Gubernur Olly ke Korea bertemu para investor di bidang kesehatan.
Mereka sudah menindaklanjuti dan datang ke Sulut untuk pengembangan telemedisen bekerja sama dengan RS ODSK. Ini sangat bagus dan positif.
Ada beberapa rumah sakit swasta juga sudah disiapkan, jadi nanti para pasien dari berbagai penjuru Indonesia, diharapkan tidak perlu lagi ke Singapore, sebaliknya berobat di rumah-rumah sakit international di Sulut.
“Ini harus ditunjang oleh Dinas Pariwisata, setidaknya menunjang program kerja sama dengan RS Internasional, termasuk menyiapkan program health tourisme dalam bentuk apa pun. Ini sama sekali tidak terlihat,” kata Saron.
Legislator dapil Minsel-Mitra ini menyatakan kekecewaannya karena melihat agenda pariwisata di Sulut yang semrawut.
“Dinas Pariwisata Sulut belum bisa menginventarisir agenda-agenda wisata secara utuh di seluruh kabupaten/kota agar terkordinasi dengan baik. Misalnya, dibuat kalender wisata yang ditata rapi agar masing-masing kabupaten/kota saling support, jangan tumpang tindih. Ini belum nampak secara signifikan,” ujarnya. (*)