TERAS, Luwu Timur- Kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh ayah kandung beserta dua temannya kembali menjadi sorotan, setelah www.projectmultatuli.com menerbitkan liputan media dengan judul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan”.
Oleh Polres Luwu Timur atas rekomendasi Polda Sulsel menghentikan penyelidikan karena dianggap tidak ditemukan 2 (dua) alat bukti. Padahal keluarga telah memiliki Laporan hasil pemeriksaan psikologis dari Psikolog P2TP2A Kota Makasar yang menyatakan bahwa para korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialaminya.
Selain keluarga juga memiliki foto dubur dan vagina para korban yang memerah yang diambil pada Oktober 2019. Karena saat itu para korban mengeluhkan sakit pada area dubur dan vagina.
Setelah itu keluarga memeriksakan para korban ke Puskesmas Malili dan dirujuk ke dokter lain. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa para korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan vagina.
Selain itu pada saat pemeriksaan para korban, tidak didampingi oleh ibu korban atau pendamping, pekerja sosial, atau orang yang dipercaya korban. Ibu korban langsung diminta menandatangani BAP dan dilarang membaca BAP.
Penyidik juga melakukan pemeriksaan kejiwaan ibu korban/pelapor tanpa dasar hukum dan persetujuan pelapor.
Hingga saat ini para korban belum mendapatkan layanan pemulihan fisik, psikologis, dan sosial akibat kekerasan seksual yang dialaminya dari pemerintah daerah.
Bahkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dinas Sosial Luwu Timur yang didatangi ibu korban tidak merespon dengan baik, tetapi justru melakukan konfrontir korban dengan pelaku serta menghakimi ibu korban.
Menurut Tim Advokasi korban, Nur Hasanah dan Citra Ayu K, penghentian proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur dengan alasan ketiadaan bukti, banyak dialami oleh korban kekerasan seksual di seluruh Indonesia.
“Berdasarkan pengalaman kami sepanjang tahun 2020 kami telah menangani 556 kasus kekerasan seksual. 167 kasus atau 30% masih belum mendapatkan kejelasan,” kata keduanya.
Hal ini terjadi karena hukum acara terutama pembuktian kasus kekerasan seksual masih mengacu pada 184 ayat (1) KUHAP, dimana foto atau video bukan alat bukti.
“Sementara laporan pemeriksaan psikologis masih belum ditegaskan sebagai satu alat bukti sehingga penggunaannya sangat bergantung dari aparat penegak hukum,” tambah mereka.
Selain itu serentetan tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun P2TP2A kepada korban maupun ibu korban dikarenakan belum adanya ketegasan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hak korban kekerasan seksual secara komprehensif baik sebelum pelaporan, pada saat pelaporan dan setelah pelaporan.
“Oleh karena itu dibutuhkan peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual, memperluas alat bukti, mengatur pembuktian khusus kekerasan seksual, memberikan perlindungan korban, keluarga serta mengatur hak-hak korban untuk mendapatkan pemulihan sebelum, pada saat pelaporan dan setelah pelaporan,” terang Nur Hasanah.
Saat ini Baleg DPR RI telah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Penghapusan Kekerasan Seksual) guna melindungi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
“Menyikapi situasi kasus ini, kami Forum Pengada Layanan (FPL) untuk perempuan korban kekerasan yang beranggotakan 115 anggota di 32 Provinsi di Indonesia menyatakan sikap,” tegas Citra K.
Adapun sikap dari FPL adalah;
1. Mendukung penuh langkah-langkah hukum yang ditempuh korban dan ibu korban untuk mendapatkan keadilan dan layanan pemulihan melalui tim kuasa hukum;
2. Mendesak Kapolri memerintahkan Kapolres Luwu Timur membuka kembali penyelidikan dan memproses kasus kekerasan seksual yang dialami oleh para korban dan melakukan evaluasi terhadap penanganan perkara kasus kekerasan seksual Polres Luwu Timur;
3. Mendorong Kepala Polisi Republik Indonesia untuk mengeluarkan peraturan Kapolri tentang pedoman penanganan kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban;
4. Meminta kepada semua untuk melindungi identitas korban dengan tidak menyebarkan dan mempublikasikannya. Secara khusus terkait beredarnya klarifikasi terkait perkara dari Humas Polres Lutim yang mencantumkan identitas orangtua korban;
5. Mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Republik Indonesia melakukan evaluasi terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Luwu Timur agar memiliki perspektif korban dan memberikan sanksi tegas kepada P2TP2A Luwu Timur apabila terbukti melakukan malprosedur penanganan kasus yang merugikan korban;
6. Mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Republik Indonesia melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Luwu untuk memberikan layanan pemulihan fisik, psikologis, dan sosial kepada para korban, menyediakan layanan hukum, ahli, pendampingan dan layanan lain yang dibutuhkan korban;
7. Mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada para korban dan ibu korban;
8. Meminta Komnas Perempuan Republik Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), melakukan pemantuan penanganan kasus kekersan seksual di Luwu Timur;
9. Mendesak DPR RI, segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memasukan 6 elemen kunci yang melindungi korban KS sebagaimana usulan Jaringan masyarakat Sipil. (YSL)