TERAS, Manado– Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI) melakukan uji coba desain surat suara yang akan digunakan di Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 nanti. Sulawasi Utara menjadi lokasi yang pertama disimulasikan, Sabtu (20/11/2021) pagi.
Dalam simulasi tersebut ada dua desain surat suara yang digunakan di dua Tempat Pemilihan Suara (TPS). TPS pertama menggunakan tiga jenis suara, sedangkan TPS yang kedua hanya dua surat suara.
Sebagai peserta adalah sejumlah komisioner Badan Pengawas Pemilu, akademisi, aktifis, pers hingga para mantan anggota KPU dan Bawaslu.
Menurut Ketua KPU RI Ilham Saputra, simulasi tahap pertama ini akan memberikan masukan kepada KPU bagaimana proses pemungutan dan perhitungan suara, sekaligus mempermudah KPU dalam mengurangi surat suara yang tidak sah.
Ia mengatakan juga, berkaca dari pengalaman Pemilu 2019, pemilih dan penyelenggara mengalami kesulitan dalam proses pemungutan dan penghitungan.
Ketua KPU RI, Ilham Saputra, mengatakan jika dipilihnya Sulawesi Utara (Sulut) sebagai daerah pertama yang melaksanakan simulasi, dikarenakan pada pelaksanaan Pemilu maupun Pilkada sebelumnya, Sulut berhasil menjadi daerah dengan capaian jumlah partisipasi pemilih yang tinggi.
“Ada tiga daerah yang akan melaksanakan simulasi, tapi Sulut menjadi daerah pertama yang menggelarnya,” ujar Ilham.
Ketua KPU Sulut Ardiles Mewoh menyampaikan terima kasih kepada KPU RI yang telah memilih Sulut sebagai lokasi pertama penyelenggaraan tahapan simulasi pada Pemilu serentak 2024, serta seluruh tamu undangan yang telah memenuhi undangan KPU.
Ia juga mengatakan pihaknya akan memulai sosialisasi tentang tahapan Pemilu serentak 2024 di daerah ini agar masyarakat bisa paham dengan tahapan dan aturan baru pada Pemilu nanti.
“Target sasaran sosialisasi tentu kepada masyarakat dan juga seluruh pihak, sehingga bisa memahami perubahan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia,” tambahnya.
Terkait dengan simulasi ini, akademisi Universitas Sam Ratulangi, Ferry Liando memberikan pandangannya. Menurut dia, tidak ada satu pilihan yang sempurna. Apakah tetap lima surat suara, atau jadi satu surat suara, atau dua surat suara semua jenis pemilihan.
“Hanya KPU harus memilih mana desain surat suara. Namun cara memilih itu harus mempertimbangkan beberapa hal, yakni tingkat kesulitan, durasi waktu dan efesiensi,” kata Liando.
Di samping itu, menurut Liando, apapun pilihan model surat suara yang mau dipilih, KPU Harus mempertimbangkan efektifitas tata kelola pemerintahan pasca Pemilu. Karena selama ini kerap terjadi ketidakselarasan kekuatan politik di eksekutif dan legislatif.
“Legislatif lebih dominan ketimbang eksekutif. Hal itu terjadi karena pada saat pencoblosan, pilihan parpol pendukung Capres/Cawapres berbeda dengan pilihan parpol pendukung anggota DPR. Sehingga jika kertas suara Pilpres dengan Pilcaleg jadi satu maka potensi linieritas itu terjadi,” terang dosen Kepemiluan Unsrat itu.
Hal yang perlu dikaji, kata Liando jika surat suara Pilpres, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten disatukan adalah soal pemilih pindahan. Jika pemilih pindah memilih di TPS berbeda dapil dalam satu kabupaten maka pemilih hanya bisa memilih calon DPRD Provinsi, DPR RI dan presiden/wakil presiden.
“Jika pemilih pindah provinsi maka pemilih hanya bisa memilih Presiden/wakil Presiden. Nah, jika surat suara jadi satu maka bisa saja ada pemilih pindahan yang ikuti mencoblos semua jenis pilihan. Hal ini perlu diantisipasi. Kalau tidak diantisipasi maka potensi PSU atau pemungutan suara ulang dapat saja terjadi,” terang Liando lagi.
Sedangkan dalam hal pencegahan penyebaran covid, KPU telah menyediakan sarung tangan agar penggunaan paku coblos yang digunakan bergantian pemilih yang satu dengan pemilih yang lain tidak menjadi sumber penularan.
Namun menurut Liando perlu dipertimbangkan penggunaan sarung tangan hanya untuk di salah satu tangan saja. Karena sarung tangan plastik yang digunakan akan menyulitkan pemilih membuka lipatan surat suara yang masih menempel erat dengan sarung tangan plastik.
“Perlu juga dipikirkan soal waktu lipat suara yang menggunakan waktu panjang karena kesulitan dalam melipat sebagaiamana sediakalah. Perlu juga menjaga soal kerahasiaan surat suara. Kotak suara yang berdiameter kecil berpotensi kerahasiaan surat suara yang lebar tidak terjamin. Ada pemilih yang menjatuhkan pilihan di daftar paling bawah, maka hasil coblosan untuk Pilpres dapat terlihat oleh pihak lain,” tutup Liando. (YSL)