“MENJEJAKKAN kaki di dunia prostitusi bukanlah cita-cita atau pilihan hidup saya.Saya berada di situ karena keadaan hidup.Saya melakukan kesalahan di masa remaja saya, hidup saya keras.”
Kata-kata inilah yang menjadi awal perbincangan saya dengan seorang perempuan, Evie Rompas, di akhir Mei 2022.Di sebuah kafe di kawasan Megamas, Manado, kami ngobrol banyak tentang kehidupan masa lalunya.
Evie memulai.
“Saya tidak pernah malu menceritakan masa lalu saya sebagai seorang pekerja seks. (Memang) Bukan hal yang bisa saya banggakan sebagai seorang perempuan.Tapi inilah hidup yang telah saya lewati,” ucap perempuan yang kini berusia 49 tahun itu.
Wajahnya mengguratkan banyak sejarah hidup yang membuatnya berdiri tegar sampai saat ini.
“Mama yang keras dan hidup yang sangat keras juga,” tutur anak kelima dari tujuh bersaudara itu.
Menghadapi ibunya yang keras, Evie mengaku dengan jujur tidak dapat mengekang jiwa mudanya.Ia menjalin cinta dengan seorang lelaki, yang diakuinya sebagai cinta pertama.
Namun hubungan backstreet itu berakhir dengan pengkhianatan sang kekasih dengan sahabatnya. Sebagai balasan, Evie menjalin hubungan dengan seorang lelaki lain. Teman dekatnya.
Dari hubungannya dengan lelaki itu, ia hamil. Seorang anak lahir.Akan tetapi, perpisahan menjadi jalan yang ditempuh. Sikap-sikap yang tak bisa ditolerir dan perbedaan agama jadi alasan.
Setelah berpisah dengan ayah sang anak, Evie bertemu cinta pertamanya dan kemudian menjalin hubungan kembali.
“Dan saya hamil lagi. Saat itu, usia anak pertama saya baru lima bulan. Dan saya kembali terluka.Karena ketika tahu saya hamil, laki-laki yang saya cintai setengah mati itu meninggalkan saya,” ungkapnya dengan raut wajah sedih mengenang masa-masa itu.
Ia mengaku sempat ingin menggugurkan kandungannya.
“Saya malu. Saya baru punya anak yang belum satu tahun, lalu harus melahirkan anak lagi. Saya mencoba untuk memberikan anak kedua saya kepada keluarga pacar saya, tapi ditolak oleh mereka. Saya sakit hati, saya ingin menggugurkan anak ini,” tuturnya lirih.
Evie bahkan sudah mendatangi biang kampung untuk mengugurkan kandungannya. Namun entah mengapa, mamanya memperingatkan dirinya untuk tidak melakukan itu.
“Kata mama, ‘kamu sudah berdosa’. Jangan tambah dosa dengan membunuh bayi itu”.
Sang anak kedua lahir dengan sehat diiringi dengan masa-masa sulit yang datang lebih keras menghantam. Memiliki dua anak tanpa pekerjaan benar-benar menghajar Evie habis-habisan. Ia kembali dilanda resah. Kali ini, Evie tak mampu memikul beban.
“Saya ingin mengakhiri hidup saya.Saya ingin gantung diri dan meninggalkan semua masalah hidup saya. Waktu itu, saya bertekad bunuh diri di depan kedua anak saya. Saya ingin melihat mereka saat saya mati,” ungkap Evie dengan mata berkaca-kaca.
“Saya mengambil tali di dapur, dan membawanya ke kamar. Saya meletakkan dua anak saya di samping kiri dan kanan. Saya menatap wajah mereka dengan hati sedih dan kacau. Saya kehilangan harapan. Saya menangis. Airmata saya tak berhenti jatuh,” tambahnya.
Sesaat sebelum ia mau gantung diri, Evie memutuskan untuk berdoa terlebih dahulu sebelum mengakhiri hidup. Iamemohon ampun atas segala dosa-dosa saya.
Setelah berdoa, Evie terus menangis. Menatap wajah kedua anaknya membuatnya semakin tak kuat untuk segera mengakhiri hidup. Namun upaya bunuh diri itu gagal.
“Saya tidak tega anak-anak saya dibesarkan dengan cara yang keras dan orangtua saya juga serba kekurangan,” ungkapnya.
Pasca pencobaan bunuh diri tersebut, Evie bertekad untuk mencari pekerjaan agar bisa membesarkan anak-anaknya dengan kedua tangannya sendiri. Saat itu, ia mendapat ajakan dari seorang teman untuk bekerja di sebuah pub di kawasan Winangun, Manado.
“Itulah awal mula saya bekerja di pub. Diajak teman,” katanya.
Evie pun melanjutkan ‘perjuangannya’ untuk beradaptasi di tempat kerja yang lampunya remang-remang. Bertemu dan berinteraksi dengan para lelaki yang mencari kesenangan di tempat itu.
Ketika itu, Evie mengaku berulang kali berhenti dari pekerjaan di Pub yang terletak di kawasan ujung timur Kota Manado itu.
“Saya teringat dosa. Saya bahkan berdoa dalam hati di tempat kerja saya, memohon ampun untuk jalan hidup saya. Saya sempat berhenti, namun anak-anak saya butuh susu dan popok. Saya harus tetap kerja dan hidup agar anak-anak saya bisa tumbuh dengan kebutuhan mereka terpenuhi.”
“Setiap kali saya ingin menyerah, saya teringat anak-anak saya. Saya tidak boleh menyerah, meski harus bekerja sebagai pekerja seks,” tambahnya.
Meski bergelut dengan dunia malam, Evie mengatakan dirinya tetap pergi beribadah. Anak-anaknya pun dibawa dan diajarkan untuk rajin beribadah.
“Menyaksikan anak-anak saya tumbuh dekat dengan Tuhan, selalu menjadi penguatan bagi saya,” tutur Evie.
Ia terus mengaku sebagai orang yang berdosa karena pekerjaannya. Tapi mendengarkan anak-anaknya semangat bercerita tentang aktifitas mereka di Gereja, membuat ia terharu dan menjadi kuat.
Susah payah Evie membesarkan anak-anak dari pekerja seks yang dilakoninya, ternyata tidak mengecewakan.
“Anak-anak saya bisa mendapatkan pendidikan yang cukup. Yang satu bisa bekerja sebagai tenaga kesehatan, yang satunya lagi sudah punya bisnis sendiri.”
Hingga kini, Evie tidak pernah memberitahukan kepada anak-anaknya soal pekerjaannya dulu.
Dalam melakukan pekerjaan sebagai pekerja seks, Evie mengaku bersyukur tidak pernah mengalami kekerasan seksual.
Namun dalam perjalanannya sebagai pekerja seks, Evie menyaksikan teman-temannya mendapatkan perlakuan kasar, bahkan ada yang tidak dibayar. Permasalahan-permasalahan seperti itulah yang kemudian dijadikan pelajaran dan motivasi bagi dirinya untuk membela perempuan-perempuan pekerja seks di Sulawesi Utara.
“Saya bergabung dengan OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia). Saya ditunjuk sebagai ketua. Di organisasi ini, kami banyak melaksanakan pelatihan dan memberikan advokasi kepada para pekerja seks.”
Menurut Evie, banyak pekerja seks mendapatkan kekerasan dan dirampas haknya. Belum lagi dengan ancaman penyakit bagi reproduksi seks mereka.
“Saya pernah berada di dunia itu.Banyak pekerja seks yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Tidak dibayar padahal itu hak mereka. Lalu ancaman penyakit bagi reproduksi seks mereka. Saya tidak mau mereka seperti itu.Mereka adalah manusia. Mereka punya hak untuk bertahan hidup dan tidak berhadapan dengan kekerasan hanya karena profesi yang mereka jalani sangat tidak awam dari pekerjaan yang lain,” terang Evie.
Evie mungkin bukan satu-satunya perempuan dan ibu yang dipaksa keadaan hidup untuk bekerja sebagai pekerja seks. Ada banyak perempuan berjuang untuk kehidupannya, dan keluarganya. Tak ada pilihan lain, atau terjebak dalam keadaan ia bekerja sebagai pekerja seks.
Tidak hanya perlakuan-perlakuan dari para lelaki hidung belang, tapi sesungguhnya hantaman stigma yang memperberat jalan hidup yang mereka lalui untuk memberikan kehidupan kepada anak-anak dan keluarga mereka.
Pdt Ruth Wangkai dari Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) memberikan pandangannya dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) bagi perjalanan hidup seorang Evie yang bekerja sebagai pekerja seks demi menghidupi anak-anaknya.
“Yang pertama, Ibu Evie ini sedari awal telah gagal mendapatkan haknya sebagai seorang perempuan dan ibu karena memiliki anak-anak. Ada penelantaran terhadap anak-anaknya sehingga ia harus membesarkan mereka sendiri. Ada yang melarikan diri dari kewajiban dan tanggung jawab untuk sama-sama membesarkan anak, yaitu ayah dari anak-anaknya,” ucap Pdt Ruth memulai percakapannya dengan saya.
Ia menyayangkan aturan hukum yang lemah di Negara ini, terutama dalam pemenuhan hak anak-anak yang seharusnya dibesarkan ibu dan ayah mereka, walaupun tidak ada pernikahan.
“Apalagi di Indonesia, perempuan yang hamil di luar pernikahan selalu dianggap salah, tanpa melihat lebih dalam lagi apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa selalu perempuan yang disalahkan? Bagaimana dengan yang menghamili? Ini yang menjadi ganjalan”.
Yang kedua, lanjut Pdt Ruth adalah stigma yang harus ditanggung Evie sebagai pekerja seks.
“Dari stigma masyarakat, pekerja seks adalah sampah masyarakat. Masyarakat tidak peduli bagaimana seseorang (perempuan) harus berjuang,” tambah dia.
Dari perspektif teologia, Pdt Ruth yang juga adalah aktivis perempuan Sulut ini menyampaikan perkataan Yesus kepada seorang perempuan pezinah yang dihakimi orang-orang di Bukit Zaitun dalam Yohanes 8.
Saat itu Yesus sedang duduk dan mengajar, dan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.
“Ada dua perkataan Yesus yang harus dicermati. Pertama; Barangsiapa di antara kamu tidak berbuat dosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batuh kepada perempuan itu. Yang kedua; Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang,” kata Pdt Ruth tanpa berpanjang-panjang lagi.
Saya pun berbincang dengan Nur Hasanah dari LSM Swara Parangpuan terkait dengan keberadaan pekerja-pekerja seks yang ada di Sulawesi Utara. Tentang masalah-masalah yang mereka alami dalam menjalankan pekerjaan demi menyambung hidup.
Ia mengatakan bahwa Swara Parangpuan menjalin hubungan yang baik dengan OPSI, yang sama-sama berjuang soal Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) menjadi undang-undang. Kini menjadi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Ada banyak faktor orang-orang, khususnya perempuan menjadi pekerja seksual,” kata Nur mulai menyampaikan pandangannya.
Bukan sekedar persoalan ekonomi. Begitu katanya.
“Ada yang karena keadaan ekonomi. Tapi ada yang memilih jadi pekerja seksual karena pernah mengalami kekerasan seksual. Diperdayai dan diperkosa. Kemudian si perempuan merasa ternoda, atau ditelunjuki stigma mereka telah kotor. Dan akhirnya mereka memilih kerja sebagai pekerja seks karena pengalaman dan stigma yang dialamatkan kepada mereka,” terang Nur panjang.
Ia mengaku kecewa dengan soal stigma ini.
“Di Negara kita, orang sangat gampang melabeli orang dengan kata kotor, meski diperkosa atau mengalami kekerasan seksual bukan kehendak seseorang, khususnya perempuan,” tambah dia.
Kemudian Nur juga angkat bicara soal kehadiran Negara dalam masalah ini. Khususnya soal nama ‘Pekerja Seks’ yang sesungguhnya diakui Negara.
“Menyebut ‘Pekerja Seks’ adalah bukti pengakuan Negara bahwa ada jenis pekerjaan seperti itu. Bisa dibuktikan adanya program-program bantuan yang penerima manfaatnya adalah pekerja seksual. Ini adalah sebuah pengakuan Negara”.
Namun yang memiriskan, kata Nur kepada saya, pada profesi ini, Negara juga kerap menjadi pelaku kekerasan kepada para pekerja seks.
“Mereka dirazia. Ditangkap dengan alasan pembinaan. Barang buktinya adalah kondom. Masa kondom jadi barang bukti. Kondom bukan hanya dipakai oleh pekerja seks, tapi pasangan suami istri yang sah juga bisa menggunakan kondom. Bukan semata mereka adalah pekerja seks,” terang Mba Nur.
Ia menegaskan bahwa penggunaan kondom oleh pekerja seks adalah hak mereka untuk menjaga kesehatan reproduksi.
“Dengan menggunakan kondom mereka melindung diri, dan melindung pemakai jasa mereka dari penyakit.”
Kami kemudian bicara soal Rancangan Peraturan Daerah terkait Trafficking yang sedang dalam proses penyusunan naskah akademiknya, untuk kemudian diusulkan ke DPRD Provinsi Sulawesi Utara.
Nur mengatakan, bahwa masalah trafficking ini sangat kompleks. Apalagi soal aplikasi Michat yang banyak digunakan orang untuk bertransaksi seksual.
“Karena aplikasi ini, mereka dianggap melakukan trafficking karena menjajakan ‘manusia’ untuk dijual dan dibeli orang. Tapi pada kasus Michat, orang dewasa pekerja seks yang menggunakan aplikasi ini sebenarnya bukan trafficking. Mereka sudah dewasa dan memilih sendiri. Berbeda jika penggunanya adalah anak-anak di bawah umur. Ini yang harus jadi perhatian semua pihak,” tukasnya.
Saya pun berbincang dan meminta tanggapan kepada Kepala UPTD Dinas PPPA Sulut Marsel Silom. Ia mengatakan bahwa pihaknya bekerja sesuai dengan amanat undang-undang. Baik itu Undang-undang KDRT, perlindungan anak, dan yang terbaru UU TPKS.
“Kebijakan Pemerintah Provinsi Sulut, baik pak Gubernur Olly Dondokambey dan pak Wagub Steven Kandouw, serta ibu Kepala Dinas PPPA Devie Tanos sangat konsen dengan masalah-masalah seperti ini. Yaitu dengan mendorong UPTD ini agar bisa memaksimalkan pelayanan pengaduan kekerasan, baik perempuan maupun anak,” kata Marsel.
Ia menjelaskan bahwa jenis kekerasan dibagi dua. Yakni Kasus Besar (KDRT dan Non KDRT) dan Kasus Kekerasan Seksual.
“Baik KDRT maupun Non KDRT dibagi secara fisik, psikis dan kasus kekerasan seksual, serta adapula hak asuh anak. Ini yang kami pilah-pilah untuk kemudian mendapatkan penanganan,” tandasnya.
Untuk pelayanan, UPTD PPPA juga mengacu pada enam manajemen kasus. Pengaduan, penjangkauan, penyediaan rumah perlindungan, pendampingan, mediasi dan rujukan.
“Ada rujukan, karena kami juga punya batasan. Misalnya kasus yang perlu dirujuk ke pemerintah pusat karena korban domisili di Manado, tapi pelaku di luar daerah,” tambahnya.
Soal kasus-kasus kekerasan yang dialami pekerja seks, diungkapkan Marsel hingga saat ini tidak ada.
“Dalam data kami ada 29 kasus trafficking selama Januari hingga September 2020. Delapan kasus orang dewasa, 20 kasus anak usia sekolah antara 14-18 tahun. Itu pun kami yang pro aktif, dan bukan merupakan pengaduan,” bebernya.
“Kebanyakan anak yang berasal dari broken home, kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orangtua sehingga mencarinya di luar. Ini yang membuat anak rentan terjerumus ke pergaulan yang salah,” tambahnya.
Selain itu, saya juga menggali informasi dari LBH Perempuan, tempat para perempuan dan anak, serta pekerja seks mendapatkan advokasi.
“Ya, kebetulan kami juga kerjasama dengan OPSI, dimana Ibu Evie adalah Ketuanya. Dengan adanya organisasi ini, banyak pekerja seks terlindungi. Baik yang anggota maupun tidak,” ungkap Citra, pengacara publik untuk isu kekerasan seksual pada LBH Perempuan Manado.
Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2021 lalu, LBH Perempuan melakukan advokasi terhadap seorang pekerja seks perempuan yang disekap oleh mucikari di wilayah Minahasa Tenggara (Mitra).
“Untuk keluar dari mess para pekerja seks, mereka meminta ganti rugi. Saat itu pekerja seks yang kami bantu ditawan dan dianiayai oleh mucikari. Dan kami bersama OPSI dan UPTD PPPA melakukan advokasi pembebasan pekerja seks tersebut,” ungkap Citra.
Selain itu, masih banyak kasus-kasus yang semestinya bisa mereka tangani. Namun banyak kendala, di antaranya korban tidak melapor.
“Kebanyakan dari mereka menjadi pesimis karena kuatir akan dire-victim-nisasi oleh aparat. Ini kendala kami,” tukasnya.
Sedangkan DPRD Sulawesi Utara juga melakukan upaya-upaya dengan mempressure pemerintah agar melakukan pencegahan segala bentuk kekerasan seksual.
“Menangani, melindungi dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual,” ucap Wakil ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Sulut, Melky Jakhin Pangemanan.
Menurut Melky, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyelenggarakan pelayanan terpadu dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan, yang dikoordinasikan oleh Menteri PPPA.
Dimana DPRD Provinsi Sulawesi Utara akan mendorong Pemkab/kota di Sulut yang belum membentuk UPTD PPA agar segera melakukan pembentukan sesuai perinta UU TPKS dalam penyelenggaraan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga korban, dan atau saksi.
“Di tahun 2021 baru lima kabupaten/kota di Sulut yang memiliki UPTD PPPA yakni Manado, Kota Kotamobagu, Mitra, Bolmut dan Boltim. Ini sangat penting dan dibutuhkan untuk mewujudkan upaya perlindungan perempuan dan anak dan dapat memaksimalkan pelayanan bagi korban kekerasan,” tutup politisi PSI ini.
Dari kisah perjalanan Evie sebagai seorang pekerja seks, banyak hal yang bisa dipetik. Pekerjaan ini membutuhkan banyak pengorbanan yang sering tidak bisa ditolerir oleh siapapun.
Tapi dalam percakapan kami, ada beberapa kata yang membuat saya tersenyum haru dan bangga menatap Evie.
“Pekerjaan saya bukan hal yang membanggakan. Hinaan, cibiran dan tatapan orang kepada saya seakan tak ada arti. Karena melihat anak-anak saya mendapatkan apa yang sepantasnya mereka dapatkan dari saya sebagai seorang ibu, adalah sangat-sangatlah membanggakan,” ucapnya.
Berbagai harapan juga disampaikan Evie untuk pekerja seks di Sulawesi Utara.
“Saya ingin teman-teman mengetahui hak-hak mereka. Memiliki keahlian untuk bisa bertahan hidup. Saya berharap mereka juga terus mendapatkan pendampingan jika menghadapi tindakan kekerasan dari orang-orang yang memakai jasa mereka,” tutupnya. (***)
Liputan ini merupakan bagian dari Program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan The Netherlands Embassy.