Liando: Daftar Pemilih Rawan Dipolitisasi - Teras Manado
//

Liando: Daftar Pemilih Rawan Dipolitisasi

Dekan FISIP Unsrat Dr Ferry Daud Liando

TERAS, Manado – Dekan FISIP Unsrat Dr Ferry Daud Liando mendorong penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu perlu memberikan perhatian serius terhadap daftar pemilih untuk mencegah adanya politisasi.

“Salah satu objek yang sering disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK) itu adalah daftar pemilih,” kata Liando saat menjadi narasumber di media gathering KPU Sulut dengan tema “Mewujudkan Sukses Tahapan Pemutakhiran Data Pemilih dan Data Pemilih Berkualitas Dalam Pilkada 2024”, Rabu (10/7/2024), di Rumah Kopi K8 Manado.

Kenapa perlu dihindari adanya politisiasi akibat kesalahan penyusunan daftar pemilih, menurut Liando, di draf UU MK terbaru menjelaskan bahwa masa jabatan MK itu 15 tahun, tetapi dalam setiap 5 tahun anggota MK itu harus dikembalikan kepada lembaga pengusul.

“Di MK itu kan yang mengusulkan ada 3, ada dari DPR, Komisi Yudisal, dan Presiden. Bukan tidak mungkin MK ini akan dipolitisisi oleh lembaga-lembaga pengusul,” paparnya.

Kata Liando, pengalaman kemarin, walaupun belum ada UU, hakim ditarik oleh DPR.

“Jadi bukan tidak mungkin DPT ini bisa saja dipolitisasi, dibawa ke MK kalau misalnya ada calon-calon oleh 3 kekuatan ini kalah, jadi bukan tidak mungkin siapa pemenang Pilkada 2024 itu akan ditentukan oleh MK. Oleh karena itu, daftar pemilih ini akan rawan dipolitisasi,” ujarnya.

“Jadi, DPT bermasalah itu bisa saja menjadi dalil oleh kekuatan politik untuk membatalkan hasil pilkada. Ini tantangan baru lagi, karena MK sekarang sudah menjadi lembaga politik bukan lagi lembaga Yudikatif. Karena mereka itu setiap lima tahun dievaluasi,” sambung Liando.

Otomatis kalau misalnya sudah dievaliasi begitu, tidak mungkin MK itu tak akan sejalan dengan lembaga-lembaga yang mengusulkan mereka di sana.

Kalau misalnya ada koalisi besar atau calon-calon kuat kalah di daerah, bisa saja mereka menggunakan masalah DPT itu sebagai objek yang bisa disengketakan di MK.

“Ini perhatian kita bersama, makanya bagaimana kita mendata daftar pemilih itu bukan hanya semata-mata kerja KPU, bukan hanya semata-mata kerja Ibu Lanny, harus kerja bersama,” kata Liando.

Liando menjelaskan, dari aspek tata kelola pemilihan, terdapat 3 standar yang bisa menentukan apakah pilkada itu memiliki kualitas atau tidak.

Pertama, apakah aspek penyelenggaraannya berlangsung secara jujur, adil, bebas dan transparan. Kedua, apakah hasil pilkada itu melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang diharapkan atau tidak. Ketiga, apakah pilkada itu memberikan manfaat (benefit) pada kepentingan kesejahtraan rakyat atau tidak.

“Satu standar tidak terjawab, maka dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada itu gagal,” ucapnya.

Salah satu tanggungjawab penyelenggara pemilu dalam menjawab ketiga standar tersebut adalah memastikan pilkada itu apakah didasarkan pada kedaulatan rakyat atau tidak.

UU 10 tahun 2016 tentang pilkada menyebutkan bahwa pilkada itu merupakan sarana kedaulatan rakyat. Sehingga kewajiban penyelenggara adalah menjaga kedaulatan itu.

Pengalaman pada pemilu atau pilkada sebelumnya bahwa banyak pemilih yang kehilangan kedaulatan politiknya yang disebabkan karena buruknya pencatatan pemilih, kurangnya logistik, informasi terbatas, pemilih teritimidasi dan penyalahgunaan suara.
Pencatatan dan pendataan pemilih harus dilakukan secara hati-hati, serius, profesional dan transparan.

Pemilik hak suara yang terlewati dalam proses pencatatan pemilih akan berpotensi menghilangkan kedaulatan dan hak politik warga negara. Meski syarat memilih adalah kepemilikan KTP namun ketidakakuratan dalam pencatatan pemilih akan berdampak pada ketidaktepatan antara jumlah pemilih dengan ketersediaan surat suara. Jika surat suara habis padahal masih ada pemilih yang belum mencoblos maka saat itulah kedaulatan rakyat sudah dihilangkan.

Kebijakan pindah memilih di TPS terdekat bagi pemilih yang tidak mendapatkan surat suara kerap tidak efektif karena pemilih tidak mau pindah TPS karena berbagai alasan seperti jarak yang terlalu jauh atau di TPS yang di rujuk juga sudah tidak tersedia surat suara atau TPSnya sudah di tutup.

“Oleh karena itu proses pencatatan pemilih harus dilakukan dengan cermat. Pihak pantarlih harus diawasi. Pengawasan harus dilakukan secara berlapis terhadap seperti pengawasan melekat oleh KPU, pengawasan fungsional oleh Bawaslu dan pengawasan eksternal oleh pihak media,” sebut Liando.

Media harus diberikan peran utama dalam proses pengawasan untuk memastikan kedaulatan rakyat tidak dihilangkan dalam penyelenggaraan pilkada. Media juga harus berperan mengingatkan publik agar aktif mencatatkan namanya dalam daftar pemilih.

“Keakuratan daftar pemilih akan menjamin adanya legitimasi pilkada. Legitimasi akan ditentukan oleh tingkat partisipasi pemilih. Jumlah Partisipasi pemilih ditentukan oleh keakuratan dalam pencatatan pemilih. Keakuratan pemilih juga akan mencegah adanya sengketa hasil pilkada di MK,” pungkas Liando. (ivo)

Latest from Headline