/

Partisipasi Pemilih 76,2 Persen di Pilgub, Herwyn Malonda Nilai Antisipasi Politik Uang Berhasil

TERASMANADO.COM, Manado – Partisipasi pemilih pada pemilihan gubernur Sulawesi Utara (Sulut) 2024 berada di angka 76,2 persen. Capaian ini turun dari pilkada 2020 lalu yang menyentuh angka 79,84 persen.

Anggota Bawaslu RI Herwyn Malonda menilai hal tersebut dikarenakan berbagai faktor. Apalagi penurunan partisipasi pemilih ini tak hanya terjadi di Sulut tapi di sejumlah provinsi di Indonesia pada pilkada serentak 2024.

“Memang terjadi penurunan partisipasi pemilih di pilkada serentak 2024. Bukan hanya di Sulut tapi di berbagai daerah di Indonesia. Sampai saat ini belumm ada kajian ilmiahnye mengapa hal tersebut terjadi. Namun dari banyak diskusi yang kami lakukan, turunnya partisipasi pemilih bisa jadi karena kejenuhan masyarakat. Karena tahapan pemilu dan pemilihan legislatif baru saja selesai langsung disambung dengan pilkada serentak,” beber Malonda.

Itulah kemudian muncul wacana untuk memberi jarak antara pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dengan pemilihan kepala daerah. “Itu yang sedang dikaji,” sebutnya.

Lebih jauh, Malonda memberi apresiasi pada jajaran Bawaslu yang berhasil melakukan pencegahan politik uang. “Dalam diskusi kami juga muncul alasan lain mengapa partisipasi pemilih kurang. Karena politik uang berkurang. Artinya, jajaran Bawaslu dan stakeholders lain bekerja maksimal lakukan pencegahan. Ini harus kita apresiasi,” tukasnya.

Apa yang disampaikan Malonda ini sejalan dengan dituturkan pengamat politik Dr Ferry Liando yang menanggapi anjloknya partisipasi pemilih di Pilkada Kota Manado. Menurut Liando, ada beberapa hal kemungkinan penyebab partisipasi pilkada rendah.

Pertama, pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pilpres 2024, sehingga kemungkinan besar tidak menggunakan hak pilihnya.

Kedua, intervensi penguasa yang terlalu menyolok terhadap kebijakan-kebijakan pilkada, terutama ketika tahapan sedang berlangsung menimbulkan rasa apatisme bagi sebagian besar pemilih. “Ada kekhawatiran bahwa hasil-hasil pilkada kemungkinan bisa diintervensi juga,” ujar Liando.

Kemungkinan yang ketiga, isu politisasi identitas menjadi berkurang akibat pragmatisme koalisi parpol. Diterangkannya, parpol-parpol yang selama ini cenderung memanfaatkan isu agama kini berkoalisi dengan parpol-parpol nasionalis. “Selama ini isu politisasi agama ternyata memicu partisipasi,” ucapnya.

Yang paling menarik yaitu kemungkinan karena ketegasan pihak kepolisian melaksanakan OTT bagi pelaku money politic yang ternyata memicu rendahnya partisipasi pemilih. “Pada pilkada sebelumnya, tingginya persentase pemilih datang ke TPS karena suaranya sudah dibayar. Jadi, politik uang itu ternyata memicu mobilisasi pemilih ke TPS,” sindirnya Liando.

Yang terakhir yaitu pelayanan pindah memilih pilkada tidak sama dengan pelayanan pindah memilih di pemilu. Pemilih di pemilu, lanjutnya, meski pindah provinsi pada saat pemilihan, warga masih bisa memilih. “Di pilkada, pemilih yang pindah provinsi tidak bisa memilih. Ini memicu ratusan hingga ribuan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya,” pungkasnya.(*)

Latest from Manado