////

Konsekuensi Pasca Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional

Manado – Dosen Kepemiluan Unsrat , Ferry Daud Liando, memberikan tanggapan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dengan daerah.

Menurut Liando, putusan MK tersebut memberi pesan adanya penolakan tentang adanya wacana pemilihan kepala daerah di pilih oleh DPRD sebagaimana yang diusulkan pemerintah.

“Jika pemilu DPRD dilakukan terpisah dgn pilkada, maka peluang pilkada dipilih DPRD masih memungkinkan. Namun jika pilkada dan pemilu DPRD dilakukan dalam hari yang sama maka akan menutup peluang kepala daerah dipilih oleh DPRD,” kata Liando dalam keterangan tertulis, Jumat (27/6/2025).

Kemudian, lanjut Liando, masa jabatan kepala daerah hasil pilkada 2024 bisa saja akan menjabat hingga 2031 jika pada 2029 tidak ada pilkada.

“Kalaupun jabatan kepala daerah ternyata hanya tetap lima tahun maka konsekuensinya jabatan kepala daerah akan diisi oleh pejabat penjabat kepala daerah hingga Juni 2031,” ujarnya.

Dia menambahkan, dengan adanya putusan ini, maka masa jabatan anggota DPRD hasil pemilu bisa saja akan menjabat selama tujuh tahun enam bulan jika pada 2029 tidak ada pemilihan umum DPRD.

“Jika jabatan DPRD hanya sampai 2029 atau lima tahun maka DPRD akan kosong dan mustahil jika diisi dengan penjabat sementara hinggga 2031,” tambahnya.

“Karena pilkda dan DPRD dipilih dalam waktu bersamaan maka dengan demikian Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 akan otomatis batal,” sambung Liando.

Dikatakannya, putusan ini mengatur syarat parpol atau gabungan parpol yang bisa mengajukan pasangan calon yaitu parpol atau gabungan parpol yang memiliki capaian ambang batas perolehan suara hasil pemilu.

Misalnya, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut.

“Karena pemilu DPRD propinsi dan pilkada dilakukan bersamaan di hari dan jam yang sama, maka syarart perolehan hasil pemilu untuk pencalonan pilkada tidak akan berlaku,” katanya.

Pada pilkada yang digelar sebelum tahun 2024, syarat parpol dan gabungan parpol yang bisa mengajukan calon pilkada adalah parpol atau gabungan parpol yang nemiliki kursi sebayak 20 persen dari junlah anggota dprd hasil pemilu. Namun pada pilkada 2024, MK memutuskan syarat perolahan jumlah kursi di gamti dgn syarat junlah perolehan suara hasil pemilu.

Namun pada pilkada di tahun 2031 kemungkinan syarat ambang batas perolehan suara juga akan hilang karena pemilu dan pillada dilakukan di hari dan jam yg sama.

“Dengan demikian semua parpol peserta pemilu bisa saja mengajukan pasangan calon kepala daerah. Jika parpol peserta pemilu teridri dari 10 maka memungkinan jumlah pasangan calon menjadi 10 pasang,” ujarnya.

Lebih lanjut, kata Liando, jika di tahun 2029 tidak ada pilkada maka akan berdampak pada kepentingan elektoral pihak incumbent. Pada pilkada 2024 banyak terdapat incumbent tidak terpilih lagi karena adanya pegisian pejabat penjabat kepala daerah karena jadwal pilkada yg di serentakkan.

“Kewenangannya dalam memobilisasi pemilih dan ASN serta menetapkan kebijakan untuk keuntungan elektoral akan hilang karena tidak lagi menjabat ketika ikut kompetisi,” tutup Liando. (ivo)

Latest from Manado